Konsep pluralisme yang ditempatkan pada tataran bernegara sudah banyak dilakukan berbagai pihak. Antara lain dengan mengangkat pluralisme dalam mengatasi permasalahan antar suku dan antar agama. IPI ingin melakukan pendekatan yang berbeda, yaitu dengan menjunjung pluralisme dari tataran berbangsa melalui pendekatan individu dan keluarga. Pengertian berbangsa ini bisa dipahami dari kenyataan yang paling sederhana bahwa seorang individu tidak mungkin bisa hidup sendiri, akan selalu membutuhkan individu-individu lainnya. Ketergantungan ini secara natural tidak membedakan kelas sosial, warna kulit, kepercayaan, usia dan gender di antara mereka. Dengan asumsi tiap individu memiliki keunggulan masing-masing yang berbeda, maka proses saling melengkapi menjadi keharusan bagi kelangsungan hidup. Dari sini ide pluralisme bisa dipahami dan dinilai dari refleksi kehidupan sehari-hari. Secara sederhana, pluralisme bisa dimaknai sebagai kondisi keberagaman suku, ras, agama, gender, keyakinan, kelas sosial yang hidup bersama dalam satu masyarakat.
Mengingat fokus IPI bukanlah pluralisme dalam bentuk konsep atau pemikiran, maka kami sepakat bahwa diperlukan pintu masuk sebagai langkah awal untuk memulai aksi atau kegiatan konkrit. Sebenarnya ada banyak pintu yang bisa dipilih, namun kami memutuskan pintu keluarga yang akan menjadi titik awal. Keluarga adalah tingkat pluralitas yang paling kecil, yang nantinya bisa meluas ke tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi dan seterusnya sampai pada tingat global. Pilihan pintu keluarga ini tidak berarti kami menutup pintu-pintu lainnya. Justeru kami meyakini bahwa pada saat yang tepat, secara natural pintu lain akan terbuka, misalnya pintu pendidikan, lingkungan, kesehatan dan lain-lain.
Disamping pentingnya menetapkan langkah awal, kami juga menekankan pentingnya jaringan. Untuk melakukan kegiatan IPI, kami bisa menggunakan jaringan yang sudah ada. Tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam proses kegiatan nantinya bisa terbentuk jaringan baru. Langkah awal yang perlu dimulai adalah observasi dan identifikasi, baik atas permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari maupun individu yang punya peduli atas permasalahan tersebut.
Pengembangan Piloting Pendidikan Keluarga dengan Pendekatan Pluralisme di Yogyakarta
Saat ini kita dihadapkan pada persoalan bahwa pluralisme terlalu kental dengan nuansa politik, yang mengakibatkan seringkali penyelesaiannya sangat struktural dan mengesampingkan aspek-aspek budaya dan pengalaman langsung masyarakat. Dari sini muncul gagasan bahwa pendidikan pluralisme bisa dilakukan dengan membantu keluarga menghadapi permasalahannya, terutama pendidikan anak, karena persoalan-persoalan yang dihadapi keluarga merupakan refleksi dari pluralisme. Hal ini terkait dengan pengembangan IPI ke depan, karena alasan sesungguhnya adalah berpusat pada pembangunan keluarga yang berarti melakukan pembangunan bangsa (nation-building). Jika fokus utama pada masalah etnis dan agama itu artinya melakukan pembangunan negara (state-building). Perubahan paradigma ini penting karena sejalan dengan pembangunan SDM dan peningkatan daya saing bangsa. Keluarga adalah penting, karena dia unit terkecil di dalam masyarakat, sehingga memperbaiki keluarga berarti memperbaiki masyarakat.
Melalui gagasan ini, IPI ingin mendorong suatu gerakan baru untuk membantu seluruh elemen masyarakat dalam pembelajaran pluralisme dalam berbagai bidang kehidupan. Kita belajar menjadi masyarakat yang plural melalui kegiatan keseharian karena dalam keseharian itu kita bisa menyadari perbedaan yang sesungguhnya perbedaan itu sudah dimulai dari keluarga. Perbedaan ayah, ibu dan anak, perbedaan gender, usia, pendidikan, wawasan, pergaulan, pekerjaan, cita-cita dan ambisi jelas menunjukkan perbedaan atau pluralisme. Gerakan ini adalah gerakan mempraktekkan pluralisme dalam kehidupan keseharian seperti halnya yang sudah dilakukan selama ini oleh IPI melalui kristalisasi batik sebagai ikon pluralisme di Batang dan Lasem.
Program baru ini akan dikembangkan di Yogyakarta, suatu daerah yang dikenal sebagai the city of tolerance, namun saat ini menghadapi berbagai tantangan pluralisme. Karena itulah dibentuk satu tim piloting untuk merancang program, mempersiapkan dan menghubungkan dengan jaringan di tingkat lokal baik dengan masyarakat, organisasi masyarakat sipil (OMS—Civil Society Organization) maupun pemerintah.
Secara lebih khusus, program ini difokuskan pada pendidikan keluarga dengan pendekatan pluralisme dimana keluarga sebagai pintu masuknya. Misalnya dengan membantu keluarga mengatasi masalah pernikahan dini. Kita menunjukkan kepada keluarga tentang pilihan-pilihan yang ada berikut resikonya, bahwa ada pluralitas dalam kehidupan dan kita boleh memilih sesuai kemampuan kita mengatasi resiko tersebut. Selain itu, pilihan tersebut juga dilakukan berdasarkan keberadaan kita di dalam masyarakat yang plural. Artinya pilihan terhadap pasangan, bagaimana kita akan hidup dan sebagainya juga didasarkan pada kondisi pendukung (orang tua, tetangga, teman kerja dan sebagainya) yang juga plural dan memainkan peranan yg berbeda dalam kehidupan pasangan muda. Singkatnya, program ini ingin membantu keluarga mencari cara pandang lain dalam mengatasi berbagai permasalahan kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini IPI tidak bisa melakukannya sendirian karena membangun bangsa harus dilakukan bersama-sama. Sebagaimana halnya sebuah gerakan, maka harus melibatkan sebanyak mungkin pihak. Karena itu tim piloting diharapkan dapat mengajak dan mendorong berbagai jaringan yang ada di Yogya. Pada tingkat awal ini proses piloting berada pada tahap mempersiapkan rencana kerja untuk keperluan studi dan implementasi kegiatan, mempersiapkan jaringan baik dengan individu maupun lembaga di Yogyakarta.
Ada tiga hal yang sudah dilaksanakan dalam memulai proses piloting. Pertama, membuat rencana kerja berikut rentang waktunya. Ke dua, menghubungkan tim di Yogyakarta dengan berbagai jejaring. Kepada berbagai jaringan ini sudah diberikan penjelasan mengenai program piloting ini, yaitu menjadikan pendidikan psikologi keluarga sebagai pintu masuk untuk mengenali mengapa keluarga-keluarga kita terpuruk dan kehilangan daya saing. Analisa sementara adalah karena keluarga-keluarga terlalu seragam dalam memaknai kehidupan seperti materialisme, konsumerisme, ranking dan seterusnya. Adapun kebutuhan untuk menghubungkan dengan jaringan adalah untuk meminta masukan dan saran mengenai pilihan-pilihan daerah sasaran program dan bagaimana menghubungkan rencana piloting ini dengan jaringan OMS di Yogyakarta. Juga untuk secara bersama memahami akar permasalahan dan kemudian secara bersama-sama juga memikirkan strategi yang terbaik utk mengatasi atau menyelesaikan akar permasalahan tersebut. Ke tiga, melaksanakan pertemuan antara jaringan dengan tim piloting. Dalam pertemuan lewat zoom, hal ini telah dijelaskan kepada jejaring bahwa pada tahap awal ini IPI bermaksud melakukan studi eksplorasi awal untuk memahami permasalahan keluarga Indonesia. Diskusi lewat zoom sudah dilakukan bersama anggota dari ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) UIN Sunan Kalijaga, kelompok aktivis isu anak dan penggiat kegiatan anak di Yogya, Srikandi Lintas Iman Yogya, Pusat penelitian Remaja dan Perempuan UGM, jaringan Gusdurian, dan Komisi Informasi Daerah (KID) DIY.
Pada tahap awal ini ada dua tantangan yang dihadapi. Pertama, masih minimnya informasi mengenai jejaring di Yogya yang fokus pada isu pendidikan keluarga. Umumnya jaringan yang dikenal adalah mereka yang menggarap isu pluralisme agama. Ke dua, kondisi pandemi Covid-19 mengakibatkan tim kurang leluasa dalam melakukan pertemuan atau observasi lapangan. Kami menyadari dalam situasi pandemi saat ini, tidak mudah melakukan pendekatan dan kontak sosial karena berbagai keterbatasan yang berlaku demi kesehatan dan keselamatan kita semua. Namun demikian, aktivitas IPI diharapkan tetap berjalan dengan berusaha mencari solusi atas keterbatasan saat ini. Untuk mengatasi hal ini sebenarnya pembentukan jaringan bisa dilakukan online, lewat zoom dan whatsapp, dan bisa dimulai dengan teman kerja. Untuk mengatasi tantangan pertama sebetulnya piloting ini tidak terbatas pada jejaring yang fokus secara khusus pada keluarga karena semua jejaring yang ada pasti terkait dengan keluarga. Yang perlu dilakukan dalam tahap piloting ini sasarannya bukan langsung pada ibu-ibu atau anak-anak dalam keluarga tapi pada para agen sosial yang akan membawa ide ini ke dalam pola gerakan. Yang penting dibentuk adalah jejaring di antara orang-orang yang sepaham bahwa pembangunan keluarga adalah core dari pembangunan bangsa.
Perlu ditekankan bahwa piloting ini difokuskan pada pemberdayaan keluarga melalui pendekatan pluralisme. Isu yang disasar tidak selalu masalah agama melainkan isu apa saja namun menggunakan pendekatan pluralisme, pluralism in action. Pluralisme yang dimaksud di sini adalah praktek saling melengkapi antar berbagai latar belakang yang berbeda-beda dalam kehidupan sehari-hari.
Recent Comments