Dari keprihatinan akan berbagai kerusuhan bernuansa primordialisme di Nusantara pada akhir dekade 1990-an, William Kwan mendirikan organisasi nirlaba untuk mengembangkan wacana pluralisme di tengah masyarakat. Sama sekali tak diduga, langkah itu menjadi awal kebangkitan batik lasem.
Kerusuhan Mei 1998, kerusuhan di Ambon, perselisihan antarsuku di Kalimantan, dan beberapa konflik karena primordialisme lainnya mendorong William mendirikan Institut Pluralisme Indonesia (IPI).
Pada awalnya kegiatan IPI, antara lain, adalah donor darah, menjadi mediator daerah konflik, dan kegiatan lain yang berupaya mempersatukan masyarakat berdasarkan keadaan di lapangan dan observasi. Namun, belakangan, kegiatannya berkembang menjadi meneliti dan mengembangkan batik di Lasem, Jawa Tengah. ”Tidak ada maksud sama sekali awalnya,” kata William Kwan ketika dihubungi pekan lalu.
Mengapa batik? Mengapa Lasem? Mengapa bukan batik cirebon, batik pekalongan, atau batik solo? William tertawa. ”Ketika itu, saya tidak tahu batik. Memakai batik hanya pakai saja, tidak tahu sejarah, motifnya. Lasem, saya juga belum pernah ke sana,” ujarnya. Batik juga bukan bidang penelitiannya yang pada waktu itu lebih banyak pada bidang ekonomi mikro pedesaan.
Boleh dibilang, Lasem ”ditemukan” William secara tidak sengaja. Sekitar Januari 2004, ia bertandang ke kakak kelasnya yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Jateng di Semarang. Ketika sedang menunggu temannya itu, dia bertemu dua orang ibu yang bercerita tentang perjalanan mereka ke Lasem, antara lain, bercerita tentang batik Tiga Negeri Lasem yang dibuat dari rumah ke rumah. Waktu itu situasi perbatikan di sana sedang sepi.
Krisis 1998-1999 membuat industri batik Lasem melempem dan masih berlangsung hingga 2004. Selain itu, serbuan batik printing yang lebih murah juga mengganggu industri batik tulis. ”Pulang dari Semarang ke Jakarta, kepala saya penuh dengan pertanyaan seputar batik Lasem,” kata William. Dia pun mencari informasi lebih lanjut tentang batik dan Lasem.
Bulan Februari 2004, William dan dua staf IPI berangkat ke Lasem tanpa satu pun kenalan di kota pesisir tersebut. ”Anehnya, ketika sampai di Lasem, saya merasa kenal, merasa pulang. Entahlah, mungkin saya orang Lasem dulu ha-ha-ha,” kata William yang lahir di Pekalongan, Jawa Tengah.
William pun melihat sendiri bagaimana lesunya industri batik Lasem. Dari ada sekitar 120 keluarga pembatik di Lasem pada 1930-an turun menjadi 110 keluarga pada tahun 1970, dan pada 2004 tinggal tersisa 18 keluarga pembatik. Empat belas keluarga di antaranya keluarga keturunan Tionghoa dan empat keluarga Jawa.
Baca juga: Wisdariman, Seniman Dayak Pelestari Keberagaman
Membangun kembali
William ingin membangun kembali kejayaan batik Lasem. Dia kembali ke Jakarta dan menceritakan niatnya kepada teman-temannya. Bukan dukungan yang didapat, melainkan celaan. ”Menurut teman-teman saya, daripada membantu industri yang sudah sekarat, lebih baik membantu industri lain, seperti para pedagang bakso. Tidak perlu jauh-jauh ke Lasem, di Jakarta saja banyak. Batik Lasem tidak terkenal, tidak ada juga pasarnya. Kalau mau mengembangkan batik, batik pekalongan, batik solo lebih jelas,” kata William menirukan kawan-kawannya.
Akan tetapi, William tidak putus asa. Dia tetap pergi ke Lasem. Bertemu dengan para pengusaha batik lasem yang terkesan sudah mati suri. Padahal, batik lasem merupakan identitas daerah Lasem dan juga merupakan perpaduan dua budaya. Motif batik Lasem adalah perpaduan antara budaya China dan budaya Lasem dan menjadi perwujudan toleransi di Lasem.
Dari berbagai pertemuan, William mulai merancang revitalisasi industri batik Lasem. Dibantu stafnya, William memutuskan membuat proyek percontohan agar lebih banyak lagi pengusaha batik Lasem yang bangkit.
”Pemda memberikan beberapa desa yang dapat dijadikan percontohan. Tetapi, saya tidak menggunakan daftar tersebut. Saya mencari desa tertinggal yang perekonomian warganya susah dan desa yang memiliki tradisi membatik. Batiknya pun bukan batik halus, jadi masih dapat ditingkatkan mutunya,” kata William.
Dari pencarian singkat, pertengahan 2006, mereka memutuskan untuk membuat Desa Jeruk, Kecamatan Pancur, menjadi desa percontohan. Di desa ini ada sekitar 172 orang perempuan yang dapat membatik, tetapi ketika itu sudah tidak membatik lagi. William membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB) Srikandi Jeruk dengan empat anggota. ”Di desa ini saya bertemu Ibu Ramini, yang hanya sekolah hingga kelas 2 SD, dan biasanya bertugas menutup atau menembok kain,” katanya.
William mengatakan, pewarnaan batik Lasem ketika itu menggunakan pewarna sintetis. ”Setiap pengusaha menyimpan sendiri resep pewarnaannya, tidak ada pekerja yang mengetahui resep itu. Warna merah mengkudu merupakan warna khas batik Lasem,” katanya.
Anggota KUB Srikandi Jeruk lalu diberi pelatihan pewarnaan alami di Girilaya, Bantul, Yogyakarta, selama satu pekan. Para pembatik selama ini tidak menggunakan pewarna alami karena prosesnya memerlukan hingga 20-30 kali pencelupan untuk mendapatkan warna yang bagus, sementara pewarna sintetis naphtol hanya 2-3 kali pencelupan saja.
William memerlukan waktu dua tahun hingga 2008 untuk kembali memperkenalkan proses pencelupan dengan pewarna alami di Lasem. William juga memperkenalkan batik Lasem kepada para perancang busana agar dapat memberi masukan warna apa yang digemari konsumen sehingga pembatik pun dapat menyesuaikan tanpa menghilangkan ciri khas batik Lasem.
Para pengusaha batik tidak hanya dari KUB Srikandi Jeruk diajak ke sejumlah sentra batik untuk belajar, tetapi juga menyertakan mereka ke pameran-pameran kriya sehingga batik Lasem perlahan semakin dikenal. Tidak hanya itu, William juga pergi ke sekolah-sekolah untuk mengajak anak muda membatik kembali. Dari tahun ke tahun, jumlah pengusaha dan pamor batik Lasem semakin meningkat. Tahun 2021 ini sudah ada 111 pengusaha batik Lasem.
Baca juga: Arman AZ, Menelusuri Jejak Samar Peradaban Lampung
Pendampingan
Tidak mudah mengajak para ibu sederhana di desa Jeruk untuk menjadi pengusaha tahan banting. William menegaskan, KUB Srikandi Jeruk merupakan sebuah komunitas pemilik usaha, bukan perorangan.
Pendampingan yang dilakukan William dilakukan secara tarik ulur dari Jakarta. Para buruh batik yang sedang berproses menjadi pengusaha dibekali berbagai pengetahuan, tetapi tidak ada campur tangan penuh dari para pendamping. Mereka dibiarkan menjalani proses secara alami.
Perjalanan mendampingi para ibu tersebut tidak selalu mulus. Terkadang timbul konflik di antara mereka. Terkadang juga mereka merasa lelah. Suatu kali, pemerintah daerah setempat membagikan stiker yang menandakan bahwa rumah tersebut berhak mendapatkan bantuan tunai.
Rumah para anggota KUB Srikandi Jeruk pun ditempeli stiker tersebut. William lalu mengajak para anggota KUB berdiskusi. ”Pengusaha itu memberi uang. Buruh itu menerima uang. Setelah saya mengatakan begitu, saya santai-santai saja lalu pulang ke Jakarta,” ujar William.
Rupanya terjadi perdebatan panjang dan seru di antara para anggota. Sebagian merasa berhak dan nyaman dengan bantuan tunai tersebut, sebagian merasa tidak pantas. Beberapa hari kemudian, salah satu dari mereka menelepon William dan mengatakan, mereka akan mengembalikan stiker.
Jangan melihat mereka sebagai obyek saja dan pendamping merasa lebih pintar dari yang didampingi.
”Buat saya, ini merupakan langkah besar. Sebuah revolusi mental mereka karena mereka sudah dapat menempatkan diri tidak sebagai pihak yang selalu diberi. Revolusi mental ini membuat paradigma mereka berubah menjadi lebih tahan banting, mau berusaha, pantang menyerah. Sifat-sifat yang diperlukan untuk menjadi pengusaha,” ujar William.
William memberikan pendampingan, seperti membantu membuat para ibu menjadi lebih komunikatif, berani menawarkan hasil karyanya hingga ke kota-kota lain. ”Kami mendampingi dengan menjaga jarak, tidak setiap saat. Secara natural tentu ada naik dan turunnya. Jangan melihat mereka sebagai obyek saja dan pendamping merasa lebih pintar dari yang didampingi,” kata William.
Dalam perjalanannya, anggota KUB Srikandi Jeruk ada yang berkembang biasa saja, ada yang pesat. Salah satu anggota saat ini sudah memiliki toko di pusat batik Jakarta, Thamrin City.
Sekian tahun mendampingi Lasem, apakah visi dan misi IPI mengenai pluralisme masih tetap melekat? William dan IPI masih tetap fokus pada visi dan misi tersebut. ”Sudah jamak orang beranggapan bahwa hanya keluarga Tionghoa yang dapat menjadi pengusaha. Tetapi, nyatanya, di Lasem sekarang banyak pengusaha batik yang keluarga Jawa. Kita juga belajar menerima apa adanya. Batik Lasem warna khasnya, antara lain, darah pitik, demikian pula dengan simbol-simbol yang ada merupakan perpaduan budaya,” tutur William.
Goretan canting pada selembar kain batik Lasem tidak sekadar torehan malam pada selembar mori. Di dalamnya ada nilai keberagaman, kebersamaan, saling menghargai, saling mendukung, juga menerima apa adanya.
Kwan Hwie Liong (William Kwan)
Lahir: Pekalongan, 13 September 1962
Jabatan: Direktur, Institut Pluralisme Indonesia (IPI), Jakarta, 2000-sekarang
Pendidikan:
– Graduate Program in Economic Development, Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, AS
– Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah
Sumber : Kompas.id
https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/02/16/william-kwan-kisah-membangkitkan-batik-lasem/
Recent Comments