Sebagai warga asli Bandung yang menjajal pendidikan formal di sekolah negeri dan swasta, saya kurang merasakan perbedaan latar belakang dalam pergaulan. Mayoritas warga Bandung adalah mereka yang berasal dari suku Sunda, disusul beberapa masyarakat kesukuan lainnya seperti Jawa, Minang, Batak, dan Manado. Pada tingkat pendidikan sekolah formal, keberagaman yang saya alami baru sebatas perbedaan kesukuan dan kepercayaan dalam skala kecil. Bisa dihitung jari jumlah teman saya yang bukan beragama Islam yang memang rata-rata bukan suku Sunda.

Perubahan baru terasa ketika menginjak bangku kuliah, dimana banyak kawan-kawan mahasiswa saya yang berasal dari berbagai daerah di luar Bandung, bahkan pulau Jawa. Kontingen Minang dan Melayu memiliki jumlah yang cukup banyak di kampus Unpad Jatinangor, disusul teman-teman dari Kalimantan, Bali, dan Sulawesi yang secara konsisten muncul sebagai figur-figur vokal di setiap kegiatan kemahasiswaan. Perbedaan paling signifikan terasa pada percakapan sehari-hari, dimana penggunaan kata “aing-maneh” bercampur dengan “aku-kau” dan juga “gue-elo” yang sedikit lucu jika dibayangkan sekarang. Di mana lagi kita bisa mendengar seseorang berbicara kosakata bahasa Sunda yang penuh dengan vokal “eu” diucapkan oleh mahasiswa asal Pekanbaru? tentu hanya di kampus.

Mulanya tentu kita semua akan merasakan gegar budaya, yakni kondisi dimana kita akan kesulitan beradaptasi pada kebiasaan, lingkungan, bahasa, dan tentunya budaya yang baru. Namun, disitulah uniknya manusia Indonesia. Tidak ada satu hari pun dilewati tanpa saling bantu beradaptasi. Tidak sedikit kejadian teman-teman dari Balikpapan yang mengalami masalah pencernaan karena menikmati kuliner khas Sunda yang terkenal pedas, di sanalah peran teman yang baik bermula ketika harus mengantar ke faskes terdekat, membeli obat dan bubur, serta melakukan titip absen.

Kampus sebagai ruang belajar pun tidak tinggal diam, mereka memfasilitasi berbagai macam latar belakang dan segala keberagaman mahasiswanya untuk bisa terus belajar, berkarya, dan tentunya berprestasi. Beragam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) berbasis budaya, bazaar kuliner, hingga festival. Saya beruntung berkuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad yang menyelenggarakan Festival Budaya di tahun pertama saya berkuliah. Di sana kami semua berkesempatan mengenal dan mendalami keberagaman di Indonesia dan juga dunia. Bersolek dengan pakaian adat daerah tertentu, menampilkan tarian khas, hingga mencicipi kuliner otentik dari berbagai daerah. Sebuah kebersamaan yang hangat terasa begitu nyata dalam lingkup pergaulan dan pendidikan.

Keberagaman semakin kompleks ketika saya mulai menapaki karir di ibukota. Jakarta dengan segala kesempatannya menarik minat seluruh masyarakat Indonesia berbondong-bondong mengadu nasib di sana.

Kantor pertama saya dipimpin oleh tokoh pluralisme Indonesia, Wimar Witoelar yang merupakan mantan juru bicara Presiden Gusdur. Beberapa rekan kerja pun memeluk agama yang berbeda, sehingga lingkup interaksi yang ditimbulkan pun semakin beragam dan intens.

Pada tahun 2017, Kami mengadakan kampanye pluralisme yang mengusung topik “Merawat Keragaman” dan mendapat banyak tanggapan positif dari masyarakat Indonesia tidak hanya di wilayah Jabodetabek, tetapi juga di luar pulau Jawa dan bahkan sampai ke Melbourne. Semua memiliki pandangan yang sama, bahwa Keberagaman merupakan identitas bangsa Indonesia yang sudah ada sejak sebelum zaman kemerdekaan dan perlu untuk dirawat bersama-sama agar bisa menjadi warisan yang bisa dinikmati oleh generasi muda Indonesia di masa yang akan datang. Sebuah identitas bangsa yang sangat layak untuk dibanggakan di kancah dunia.

Tidak pernah ada yang salah dengan Keberagaman. Selama kita semua sebagai insan manusia menggunakan nurani dalam kehidupan sehari-hari, selama itu pula Keberagaman akan dapat terus dirasakan kehangatannya. Keberagaman dapat membawa kita pada nuansa kehidupan yang harmonis tanpa perlu memandang perbedaan Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan.

Jadi, kenapa harus cemas dengan Keberagaman?

Ditulis Oleh: Panji Kharisma Jaya